KEMENANGAN ANGGODO, KEHANCURAN KPK?

Wednesday, June 9, 2010


“cepetan emailen ke 01, menang kita. Tersangka sudah ditahan. Wis sesok ga usah tunggu handphone, anyar nomernya anyar kabeh ya? Direkam, wis ga popo. Wis menang kon.”

Itulah rekaman suara yang diduga adalah Anggodo Widjojo, yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada 3 november 2009. Ekspresi kegembiraan itu diungkapkan saat dia mengetahui dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, akhirnya ditahan polisi pada 29 Oktober 2009.
Namun rekaman itu ternyata mengubah jalannya cerita. Kemenangan yang sudah ada harus tertunda. Mata masyarakat terbuka dengan rekaman pembicaraan itu. dugaan adanya rekayasa dalam perkara Bibit – Chandra dengan tujuan akhir melemahkan KPK menguat, melahirkan desakan penghentian perkara itu.
Dugaan rekayasa itu juga disebut jelas dalam pertimbangan putusan MK terkait uji materi terhadap UU No. 30 Thn 2002 tentang KPK yang diajukan Bibit dan Chandra. Disebutkan terdapat fakta petunjuk terjadinya rekayasa atau sekurang-kurangnya ada pembicaraan antara oknum penyidik atau oknum aparat penegak hukum dengan Anggodo. Menurut MK, hubungan Anggodo dengan oknum penyidik berpotensi menjadi persekongkolan untuk merekayasa Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dalam kasus tertentu.
Disatu sisi, kejaksaan dan kepolisian saat itu ngotot perkara dugaan penyalahgunaan wewenang dan upaya pemerasan yang diduga dilakukan pimpinan KPK itu layak disidangkan. Mereka yakin memiliki bukti lengkap. Namun kejaksaan “terpaksa” mengeluarkan surat keputusan penghentian penuntutan (SKPP), setelah presiden SBY memberikan arahan agar perkara itu diselesaikan diluar pengadilan. Pilihan kebijakan yang controversial karena mengeluarkan SKPP dengan alasan sosiologis sama artinya dengan menggantung nasib Bibit dan Chandra. Sebab perkara mereka bisa sewaktu-waktu dibuka lagi. Inilah yang menjadi celah bagi Anggodo untuk merebut kemenangannya kembali.

Dari semula, banyak kalangan meragukan keseriusan Kejaksaan Agung menutup kasus Bibir dan Chandra. Keraguan itu menguat ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan SKPP itu tidak sah dan bukan cara yang tepat menghentikan kasus yang membelit kedua unsur pimpinan KPK itu. “Harusnya deponir”, kata Andi Samsan Nganro, Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mengutip putusan majelis banding.
Benar saja, alasan sosiologis dalam penghentian SKPP menjadi jalan bagi kemenangan praperadilan Anggodo. Ini adalah alasan yang “lemah” sehingga hakim pasti akan mengabulkan permohonan praperadilanyang diajukan Anggodo melalui penasihat hukumnya.
Kini Bibit dan Chandra kembali dihadapkan pada pengadilan perkara yang sama. Lebih dari itu, gugatan itu mengancam keberlangsungan pemberantasan korupsi di KPK. Lembaga itu berada pada titik nadir. Sebab jika perkara ini diteruskan sesuai dengan kronologi yang dibuat Anggodo dan Ary Mulyadi pada 15 Juli 2009, meski belakangan Ary mencabut kronologi itu, bukan hanya Bibit dan Chandra  yang bakal diseret. Wakil ketua KPK lainnya, M. Jasin, Deputi Penindakan Ade Rahaja, dan beberapa pejabat KPK lain juga disebut mendapatkan ‘jatah’.
Jika itu terjadi pembicaraan antara Anggodo dan perempuan yang diduga adalah Yuliana Ong pada 6 Agustus 2009 pukul 20.26 tentang pembubaran KPK rasanya bakal terwujud.
Pokoke didukung, dadi KPK iki ditutup engko mari ngene, Pak. (Pokoknya didukung, jadi KPK habis ini bakal ditutup,Pak). Ngerti, ta? “ sebut orang yang diduga Yuliana. Dalam penggalan pembicaraan ini, sebelumnya orang yang diduga Yulianan dengan percaya diri juga menyebutkan mendapatkan dukungan SBY. Alasan yang menyangkut keberlanjutan KPK ini pula yang membuat Bibit dan Chandra bersikukuh agar perkaraini tak dilanjutkan. “Kami tidak pernah takut perkara ini dibawa ke pengadilan. Kami hanya khawatir dengan dampaknya”. Kata Taufik Basari, kuasa hukum Bibit dan Chandra. Dampak yang dimaksud Taufik adalah sama dengan membiarkan kasus rekayasa mendapatkan legitimasi untuk diproses. “Kita juga membiarkan pihak yang melakukan praktik mafia hukum terus menggunakan kasus ini,” katanya.
Oleh karena itu menjadi penting untuk membuktikan dugaan rekayasa yang menimpa Bibit dan Chandra. Benarkah pimpinan KPK berupaya memeras dan menerima uang dari Anggodo atau sebaliknya, Anggodo yang berinisiatif menyuap pimpinan KPK untuk menyelamatkan kakaknya, Anggoro Widjoyo, tersangka korupsi system komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan.
Febri Diansyah dari Inodnesian Corruption Watch (ICW) mengingatkan kembali hasil laporan dan rekomendasi tim independent dan verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra (Tim Delapan), yang mengungkap dengan lugas, alat bukti yang dimiliki kepolisian sangat lemah. Bukti penerimaan uang hanya didasarkan pada bukti petunjuk, seperti karcis parkir, dan gambar CCTV mobil KPK masuk ke parkiran Pasar Festival Kuningan. “Bukti petunjuk yang lemah tiada nilainya dalam hukum acara pembuktian pidana,” kata Febri.

Kini berjalan perkara ANggodo dalam kasus dugaan percobaan penyuapan pimpinan KPK. Sidang ini menjadi krusial karena akan menentukan dua hal, apakah terjadi upaya pemerasan yang dilakukan pimpinan KPK, sebagaiman dituduhkan Anggodo, atau sebaliknya yang terjadi adalah upaya penyuapappn dan menghalangi penyidikan oleh Anggodo melalui rekayasa perkara Bibit dna Chandra. Febri menyarankan agar sidang mendengarkan kesaksian Tim Delapan. Dari sini mungkin bisa diketahui mafia yang sebenarnya, “Jika terbukti ada rekayasa, tidak ada serah terima uang, dan inisiatif berasal dari Anggodo, seharusnya perkara Bibit-Chandra gugur. Kalai demikian, penggunaan hak opoturnitas Jaksa Agung melalui deponir menjadi mutlak dilakukan. Alasan kepentingan umum sudah sangat kuat,” ujarnya.
Namun jika sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tak bisa mengungkap adanya rekayasa Anggodo, memang tak ada pilihan lain bagi Bibit dan Chandra untuk duduk sebagai terdakwah. Artinya kejaksan perlu menunggu hasil persidangan dalam kasus Anggodo. Penasihat hukum Anggodo, OC Kaligis, menyebutkan kasusu Bibit dan Chandra berbeda dengan kasus klientnya. “Mengapa harus menunggu kasus Anggodo dulu? Bahkan mestinya perkara Anggodo masuk ke peradilan umum, yaitu Anggodo yang diperas” katanya.
Jika Bibit dan Chandra disidangkan saat ini mengandung resiko yang besar. Dengan diajukannya kasusu ini ke pengadilan, pimpinan KPK akan tersisa dua orang. Bahkan jika Jasin ikut terseret tinggal Haryono Umar. “Ini menghambat kerja KPK dan yang senang adalah para koruptor,” kata Taufik Basari.
Juru bicara KPK Johan Budi mengakui, KPK sudah menyiapkan kondisi terburuk, kehilangan pemimpinnya. Namun, tetap hal itu akan berpengaruh buruk pada kinerja KPK. Dnegan empat unsur pimpinan seperti ini saja, anggota DPR berkali kali berteriak, kinerja KPK lamban, khususnya dalam menangani kasus Bank Century. Barangkali jika tinggal satu atau dua orang nantinya, penanganan semua kasus akan berjalan lamban.

Dikutip dari kompas, 9 Juni 2010
Oleh Ahmad Arif dan Susana Rita K



0 comments: