“cepetan emailen ke 01, menang kita. Tersangka sudah ditahan. Wis sesok
ga usah tunggu handphone, anyar nomernya anyar kabeh ya? Direkam, wis ga popo. Wis menang kon.”
Itulah rekaman suara yang diduga
adalah Anggodo Widjojo, yang diperdengarkan dalam persidangan Mahkamah
Konstitusi pada 3 november 2009. Ekspresi kegembiraan itu diungkapkan saat dia
mengetahui dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto
dan Chandra M. Hamzah, akhirnya ditahan polisi pada 29 Oktober 2009.
Namun rekaman itu ternyata
mengubah jalannya cerita. Kemenangan yang sudah ada harus tertunda. Mata
masyarakat terbuka dengan rekaman pembicaraan itu. dugaan adanya rekayasa dalam
perkara Bibit – Chandra dengan tujuan akhir melemahkan KPK menguat, melahirkan
desakan penghentian perkara itu.
Dugaan rekayasa itu juga disebut jelas dalam pertimbangan
putusan MK terkait uji materi terhadap UU No. 30 Thn 2002 tentang KPK yang
diajukan Bibit dan Chandra. Disebutkan terdapat fakta petunjuk terjadinya
rekayasa atau sekurang-kurangnya ada pembicaraan antara oknum penyidik atau
oknum aparat penegak hukum dengan Anggodo. Menurut MK, hubungan Anggodo dengan
oknum penyidik berpotensi menjadi persekongkolan untuk merekayasa Bibit dan
Chandra dijadikan tersangka dalam kasus tertentu.
Disatu sisi, kejaksaan dan
kepolisian saat itu ngotot perkara dugaan penyalahgunaan wewenang dan upaya
pemerasan yang diduga dilakukan pimpinan KPK itu layak disidangkan. Mereka
yakin memiliki bukti lengkap. Namun kejaksaan “terpaksa” mengeluarkan surat keputusan
penghentian penuntutan (SKPP), setelah presiden SBY memberikan arahan agar
perkara itu diselesaikan diluar pengadilan. Pilihan kebijakan yang
controversial karena mengeluarkan SKPP dengan alasan sosiologis sama artinya
dengan menggantung nasib Bibit dan Chandra. Sebab perkara mereka bisa
sewaktu-waktu dibuka lagi. Inilah yang menjadi celah bagi Anggodo untuk merebut
kemenangannya kembali.
Dari semula, banyak kalangan
meragukan keseriusan Kejaksaan Agung menutup kasus Bibir dan Chandra. Keraguan
itu menguat ketika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta menyatakan SKPP itu tidak sah dan bukan cara yang tepat menghentikan
kasus yang membelit kedua unsur pimpinan KPK itu. “Harusnya deponir”, kata Andi
Samsan Nganro, Humas Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mengutip putusan majelis
banding.
Benar saja, alasan sosiologis
dalam penghentian SKPP menjadi jalan bagi kemenangan praperadilan Anggodo. Ini
adalah alasan yang “lemah” sehingga hakim pasti akan mengabulkan permohonan
praperadilanyang diajukan Anggodo melalui penasihat hukumnya.
Kini Bibit dan Chandra kembali
dihadapkan pada pengadilan perkara yang sama. Lebih dari itu, gugatan itu
mengancam keberlangsungan pemberantasan korupsi di KPK. Lembaga itu berada pada
titik nadir. Sebab jika perkara ini diteruskan sesuai dengan kronologi yang
dibuat Anggodo dan Ary Mulyadi pada 15 Juli 2009, meski belakangan Ary mencabut
kronologi itu, bukan hanya Bibit dan Chandra
yang bakal diseret. Wakil ketua KPK lainnya, M. Jasin, Deputi Penindakan
Ade Rahaja, dan beberapa pejabat KPK lain juga disebut mendapatkan ‘jatah’.
Jika itu terjadi pembicaraan
antara Anggodo dan perempuan yang diduga adalah Yuliana Ong pada 6 Agustus 2009
pukul 20.26 tentang pembubaran KPK rasanya bakal terwujud.
“Pokoke didukung, dadi KPK iki ditutup engko mari ngene, Pak.
(Pokoknya didukung, jadi KPK habis ini bakal ditutup,Pak). Ngerti, ta? “ sebut orang yang diduga Yuliana. Dalam penggalan
pembicaraan ini, sebelumnya orang yang diduga Yulianan dengan percaya diri juga
menyebutkan mendapatkan dukungan SBY. Alasan yang menyangkut keberlanjutan KPK
ini pula yang membuat Bibit dan Chandra bersikukuh agar perkaraini tak
dilanjutkan. “Kami tidak pernah takut perkara ini dibawa ke pengadilan. Kami
hanya khawatir dengan dampaknya”. Kata Taufik Basari, kuasa hukum Bibit dan
Chandra. Dampak yang dimaksud Taufik adalah sama dengan membiarkan kasus
rekayasa mendapatkan legitimasi untuk diproses. “Kita juga membiarkan pihak
yang melakukan praktik mafia hukum terus menggunakan kasus ini,” katanya.
Oleh karena itu menjadi penting
untuk membuktikan dugaan rekayasa yang menimpa Bibit dan Chandra. Benarkah
pimpinan KPK berupaya memeras dan menerima uang dari Anggodo atau sebaliknya,
Anggodo yang berinisiatif menyuap pimpinan KPK untuk menyelamatkan kakaknya,
Anggoro Widjoyo, tersangka korupsi system komunikasi radio terpadu di
Departemen Kehutanan.
Febri Diansyah dari Inodnesian
Corruption Watch (ICW) mengingatkan kembali hasil laporan dan rekomendasi tim
independent dan verifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra (Tim
Delapan), yang mengungkap dengan lugas, alat bukti yang dimiliki kepolisian
sangat lemah. Bukti penerimaan uang hanya didasarkan pada bukti petunjuk,
seperti karcis parkir, dan gambar CCTV mobil KPK masuk ke parkiran Pasar
Festival Kuningan. “Bukti petunjuk yang lemah tiada nilainya dalam hukum acara
pembuktian pidana,” kata Febri.
Kini berjalan perkara ANggodo
dalam kasus dugaan percobaan penyuapan pimpinan KPK. Sidang ini menjadi krusial
karena akan menentukan dua hal, apakah terjadi upaya pemerasan yang dilakukan
pimpinan KPK, sebagaiman dituduhkan Anggodo, atau sebaliknya yang terjadi
adalah upaya penyuapappn dan menghalangi penyidikan oleh Anggodo melalui
rekayasa perkara Bibit dna Chandra. Febri menyarankan agar sidang mendengarkan
kesaksian Tim Delapan. Dari sini mungkin bisa diketahui mafia yang sebenarnya,
“Jika terbukti ada rekayasa, tidak ada serah terima uang, dan inisiatif berasal
dari Anggodo, seharusnya perkara Bibit-Chandra gugur. Kalai demikian,
penggunaan hak opoturnitas Jaksa Agung melalui deponir menjadi mutlak
dilakukan. Alasan kepentingan umum sudah sangat kuat,” ujarnya.
Namun jika sidang di Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi tak bisa mengungkap adanya rekayasa Anggodo, memang tak
ada pilihan lain bagi Bibit dan Chandra untuk duduk sebagai terdakwah. Artinya
kejaksan perlu menunggu hasil persidangan dalam kasus Anggodo. Penasihat hukum
Anggodo, OC Kaligis, menyebutkan kasusu Bibit dan Chandra berbeda dengan kasus
klientnya. “Mengapa harus menunggu kasus Anggodo dulu? Bahkan mestinya perkara
Anggodo masuk ke peradilan umum, yaitu Anggodo yang diperas” katanya.
Jika Bibit dan Chandra
disidangkan saat ini mengandung resiko yang besar. Dengan diajukannya kasusu
ini ke pengadilan, pimpinan KPK akan tersisa dua orang. Bahkan jika Jasin ikut
terseret tinggal Haryono Umar. “Ini menghambat kerja KPK dan yang senang adalah
para koruptor,” kata Taufik Basari.
Juru bicara KPK Johan Budi
mengakui, KPK sudah menyiapkan kondisi terburuk, kehilangan pemimpinnya. Namun,
tetap hal itu akan berpengaruh buruk pada kinerja KPK. Dnegan empat unsur
pimpinan seperti ini saja, anggota DPR berkali kali berteriak, kinerja KPK
lamban, khususnya dalam menangani kasus Bank Century. Barangkali jika tinggal
satu atau dua orang nantinya, penanganan semua kasus akan berjalan lamban.
Dikutip dari kompas, 9 Juni 2010
Oleh Ahmad Arif dan Susana Rita K
0 comments:
Post a Comment