GADING GAJAH, MAHAR YANG MEMBEBANKAN

Sunday, July 18, 2010

Proses meminang anak gadis di kalangan suku Lamaholot, Nusa Tenggara Timur, tergolong unik. Meski masyarakat daerah ini tidak pernah memelihara gajah, sejak ratusan tahun lalu gading gajah dijadikan mahar kawin.

Mahar kawin jenis ini, yang dalam masyarakat Lamaholot disebut belis, tak jarang menimbulkan masalah yang cukup rumit, bahkan bagi masyarakat Lamalohot sendiri. Pembicaraan paling alot antara pihak keluarga perempuan (calon istri) dan laki-laki (calon suami) adalah soal berapa banyak gading gajah yang harus diberikan pihak laki – laki sebagai belis bagi calon istri. Dalam konteks itu, status sosial seseorang dijadikan ukuran untuk menentukan banyak/sedikit, panjang/pendek, dan besar/kecil-nya gading. Jika calon istri berasal dari keluarga dengan status sosial tinggi, jumlah gading gajah harus banyak dan panjang. Jika perempuan berasal dari keluarga sederhana, jumlah dan ukuran gading bisa dikompromikan.

Elias Laga Kelake (72), pedagang gading gajah dari Waiwerang, Flores Timur, akhir Juni lalu menceritakan, bagi suku Lamaholot , belis gading gajah tidak bisa diganti dengan benda lain ataupun uang. “Disini tidak ada gajah. Gading yang ada diperoleh dari dalam tanah dan sebagian dibawa dari luar, seperti Malaysia oleh perantau. Kebanyakan ditemukan di dalam tanah. Umur gading pun sudah ratusan tahun,” kata Laga.

Jika perkawinan merupakan perpaduan antara perempuan asal Lamaholot dan pria dari luar Lamaholot serta berlangsung di daerah perantauan, gading memang bisa dikonversikan dengan uang. Namun jika pernikahan dilangsungkan di Flores, peraturan mahar gading tetap berlaku.

Gading gajah dalam bahasa Lamaholot berarti bala. Ada tujuh jenis bala. Tiga diantaranya adalah bala huut (gading yang panjangnya sesuai dengan rentangan tangan orang dewasa atau ujung jari tangan), bala lima one (panjang gading jika diukur sampai telapak tangan orang dewasa), dan bala lega korok (ukuran gading sampai belahan dada). Ketua adapt desa Demondei, Flores Timur, Philip Laga (57), mengatakan dalam adapt Lamaholot, gading tidak bisa diukur dengan alat ukur umumnya, seperti meteran. Masyarakat hanya menggunakan ukuran depa atau rentangan tangan orang dewasa. Mereka tidak mempersoalkan panjang pendekn rentanga tangan pria yang mengukur.

Dalam kesepakatan mengenai belis, biasanya keluarga perempuan berperan menentukan panjang, pendek, dan jumlah batang gading. Keluarga perempuan itu retdiri atas kedua orang tua calon pengantin, saudara laki-laki, dan paman. “Jumlah gading bagi seseorang perempuan antara tiga hingga tujuh batang. Jumlah tujuh batang biasanya berlaku di kalangan bangsawan atau orang terpandang. Masyarakat biasa hanya tiga batang,” papar Laga. Memasuki pernikahan gereja, minimal satu batang gading gajah harus dilunasi keluarga pria. Sisanya boleh menyusul.

Di kalangan suku Lamaholot, utang piutang terkait belis berlangsung turun temurun. Jika ayah belum melunasi belis, utang akan dilimpahkan kepada anak, cucu, cicit, dan seterusnya. Utang terus menumpuk dan membebani keluarga atau suku itu jika kemudian sang anak laki – laki juga belum melunasi belisnya.

Utang belis tak hanya terhapuskan begitu saja. “Jika salah satu pihak yang mengelak atau meniadakan utang itu, secara adat (diyakini) dia akan mendapat kutukan atau hukuman leluhur, seperti tidak mendapatkan keturunan, sakit berkepanjangan, dan cacat bawaan. Utang tetap utang, kecuali kedua belah pihak secara adat menghapus utang gading itu,” kata Laga.

Saat ini harga gading gajah di daerah itu bervariasi, dari 13 juta hingga 100 juta rupiah per batang. Meski demikian, tidak mudah untuk mendapatkannya. Gading gajah mulai berkurang di kalangan suku Lamaholot karena sebagian besar dijual ke luar Flores atau dipotong untuk membuat gelang, cincin, dan perhiasan lain.

Dikutip dari Kompas, 15 Juli 2010

0 comments: